Buku berjudul Teori Budaya yang diterjemahkan oleh Landung Simatupang dari The Theory of Culture karya David Kaplan dan Robert A. Manners merupakan buku tentang teori yang memperlakukan disiplin ilmu antropologi sebagai suatu sains (h. xv). Buku yang diberi kata pengantar oleh P.M. Laksono dan dilengkapi dengan indeks ini terdiri 294 halaman yang tertuang dalam lima bab utama. Bab I tentang antropologi: metode dan pokok soal dalam penyusunan teori. Bab II tentang orientasi teoritik yang meliputi evolusionisme, fungsionalisme, sejarah dan ekologi budaya. Bab III membahas tipe-tipe teori budaya yang berkaitan dengan ideologi, struktur sosial, teknoekonomi dan kepribadian dalam matra sosial maupun psikobiologisnya. Bab IV membahas analisa formal yang mencakup model sebagai piranti heuristik, strukturalisme, etnografi baru, serta pendekatan emik dan pendekatan etik terhadap fenomena budaya. Bab V merupakan epilog yang mengkaji antropologi dalam pandangan tradisional beserta kritik terhadapnya dan kecenderungan antropologi masa depan yang mengupayakan titik temu dengan ilmu-ilmu sosial lain.
Bagi Kaplan dan Manners, antropologi termasuk ilmu yang sungguh luas cakupan bahasannya dan tampak paling takabur di antara sekalian ilmu sosial karena ia mengambil budaya manusia di segala waktu dan tempat sebagai bidangnya yang sah. Ia menjelajahi masalah-masalah yang meliputi kekerabatan dan organisasi sosial, politik, teknologi, ekonomi, agama, bahasa, kesenian dan mitologi. Ia juga satu-satunya ilmu pengengatuan sosial yang berusaha membahas kedua sisi sifat hakikat manusia sekaligus, yakni sisi biologis atau antropologi ragawi dan sisi kultural atau antropologi budaya (h. 1). Pokok-pokok soal yang diperhatikan antropolog dapat diringkas menjadi dua pertanyaan besar yang saling terkait, yaitu [1] Bagaimanakah bekerjanya berbagai sistem budaya yang berbeda-beda?, dan [2] Bagaimanakah sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu menjadi seperti keadaannya kini? (h. 2, 48, 75, dan 175). Selain itu, masalah utama dalam antropologi ialah menjelaskan kesamaan dan perbedaan budaya, pemeliharaan budaya maupun perubahannya dari masa ke masa (h. 3).
Mengenai relativisme dan komparativisme, keduanya mengemukakan bahwa selama ini sikap antropolog dalam hal teori dan metodologi adalah relativistik dan komparatif. Relativisme menyatakan bahwa setiap budaya merupakan konfigurasi unik yang memiliki cita rasa khas dan gaya serta kemamampuan tersendiri. Kaum relativis menyatakan, suatu budaya harus diamati sebagai kebulatan tunggal dan hanya sebagai dirinya sendiri. Sedangkan komparativis mengatakan, suatu institusi, proses, kompleks atau ikhwal haruslah dicopot dari matriks budaya yang lebih besar dengan cara tertentu sehingga dapat dibandingkan dengan institusi, proses, kompleks atau ikhwal dalam konteks sosiokultural lainnya. Titik temu kedua pandangan itu terletak pada kesamaan penilaian bahwa tidak ada dua budaya yang persis sama. Adapun perbedaan mereka setidaknya pada dua hal, yakni [1] walaupun para komparativis umumnya menerima pernyataan bahwa semua bagian suatu budaya saling terkait secara fungsional, mereka tembahkan keterangan bahwa bagian-bagian tertentu memiliki keterkaitan yang lebih erat daripada keterkaitan antara bagian-bagian lain, dan [2] komparatitvis menerima premis kesamaan atau kesatuan psikis umat manusia secara lebih sungguh-sungguh daripada relativis, sehingga mereka lebih siap menerima kesamaan yang tersingkapkan oleh pengamatan dan penelitian empirik-komparatif (h. 6-8). Ketika ingin memutuskan apakah fenomen kebudayaan dapat diperbandingkan atau tidak, maka gagasan mengenai tipe struktural menjadi sangat penting dalam pandangan Kaplan dan Manners. Yang dimaksud tipe struktural adalah suatu klasifikasi fenomen yang dipelajari menurut cirinya yang penting dan menentukan, selagi kita mendefinisikan ciri tersebut. Karena tidak ada klasifikasi fenomen yang mutlak, maka tipe struktural bervariasi menurut masalah yang dikaji (h. 11). Mengenai teori, mereka berkata bahwa sulit didapat gagasan jernih tentang apa yang dimaksud berbagai antropolog dalam menggunakan istilah tersebut. Bahkan sekarang ini tampaknya mustahil dicapai konsensus di antara antropolog tentang apa yang teori dan apa yang bukan teori, sehingga kegiatan berteori termasuk suatu proses misterius. Meski demikian, karena mereka tetap mengakui bahwa antropolog tidak dapat membuat pemerian dan analisis tentang fenomen kebudayaan tanpa menggunakan teori dan generalisasi pada taraf tertentu, betapapun tentatifnya itu semua (hlm xv-xvi). Teori adalah pengetahuan yang diorganisasikan dengan cara tertentu yang meletakkan fakta di bawah kaidah umum. Dengan demikian, pengetahuan teoritik tidak hanyalebih mudah dipahami dan disampaikan jika dibandingkan dengan pengetahuan yang diorganisasikan secara lain, melainkan juga mempunyai potensi pengembangan. Potensi pengembangan inilah yang tidak dimiliki oleh sekedar akumulasi fakta (h. 41). Suatu teori yang berharga harus melaksanakan fungsi ganda, yakni menjelaskan fakta yang sudah diketahui dan membuka celah pemandangan baru yang dapat mengantar kita menemukan fakta baru pula (h. 15). Teori harus memuat pernyataan tentang mekanisme tertentu serta hubungan antara variabel-variabel yang tercakup dalam fenomen yang diselidiki (h. 123)
Berkaitan dengan pembedaan antara etnografi (pemerian / deskripsi budaya) dan etnologi (pembentukan teori mengenai pemerian itu), Kaplan dan Manners memandang bahwa dikotomi tersebut dapat menyesatkan. Menurutnya, gagasan bahwa kita dapat merekam semua fakta jelas gagasan yang konyol. Fakta kita amati dan kita saring melalui semacam penyaring berupa minat atau kepentingan, predisposisi, serta pengalaman masa lampau (h. 27-28). Karena semua antropolog berpotensi mengalami bias dalam laporannya, maka adalah keliru apabila kita berupaya mendapatkan objektivitas di dalam pemikiran dan sikap antropolog selaku individu. Sebagaimana yang ditulis Karl Popper, mereka mengatakan bahwa objektivitas harus dicari dalam institusi dan tradisi kritik suatu disiplin. Hanya lewat saling memberi dan menerima kritik terbuka serta melalui saling pengaruh antara bermacam-macam bias dapat diharapkan munculnya sesuatu yang mendekati objektivitas. Dengan ungkapan lain, objektivitas hakiki diupayakan dan ditingkatkan secara kumulatif dari masa ke masa (h. 32-33).
Mengenai evolusionisme abad XIX, Kaplan dan Manners menerima kritik tentang kekurangan yang serius dalam karya para penulis abad XIX, serta sekaligus mengajukan pembelaan. Menurutnya, ada rumusan-rumusan para penulis abad XIX yang sering diperlakukan secara kurang patut oleh antropolog sesudahnya, padahal terdapat beberapa rumusan tertentu yang relevan dengan konsepsi-konsepsi mutakhir tentang perkembangan (h. 52-53). Bagaimanapun juga, para evolusionis ittu merupakan peletak landasan bagi suatu disiplin ilmu yang tertata, yang sebelumnya tidak memiliki landasan apapun (h. 58). Adapun fungsionalisme, maka ia adalah penekanan dominan dalam studi antropologi, khususnya penelitian etnografis. Dalam fungsionalisme, ada kaidah yang bersifat mendasar bagi suatu antropologi yang berorientasi pada teori, yakni diktum metodologis bahwa kita harus mengeksplorasi ciri sistemik budaya. Artinya, kita harus mengetahui bagaimana kaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk sistem yang bulat. Ia merupakan perspektif teoritik yang bertumpu pada analogi dengan organisme (h. 76-77). Sewaktu memasukkan sejarah ke dalam kelompok orientasi teoritik, mereka menyatakan sikapnya bahwa perbedaan antara sejarah dan etnografi terutama bersumber pada minat keduanya terhadap budaya-budaya tertentu yang dipandang sebagai sistem konkret dalam waktu dan ruang. Jika minat kita tidak sekedar pada kronologi atau pengisahan sejarah alam, maka kita harus menggunakan proses klasifikasi, kategorisasi, serta menunjukkan kemungkinan hubungan antara tipe-tipe kejadian. Di sinilah perspektif fungsional dan evolusi dikawinkan dengan perspektif historis untuk dapat mulai merumuskan teori. Jika kita tidak meletakkan kejadian historis dalam suatu kerangka fungsional evolusioner, sejarah kita hanya akan tetap berupa narasi atau kronologi (h. 94). Sedangkan ekologi budaya yang konsep sentralnya adalah lingkungan (environment) dan adaptasi(adaptation). Pengertian lingkungan pada umumnya disamakan dengan ciri-ciri atau hal-hal menonjol yang menandai habitat alami, misalnya cuaca, flora, fauna, tanah, pola hujan dan bahkan ada tidaknya mineral di bawah tanah (h.104-105). Sedangkan adaptasi diartikan sebagai proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya (h. 112). Ekologi budaya mengkaji adaptasi pada dua tataran, yaitu sehubungan dengan cara sistem budaya beradaptasi terhadap lingkungan totalnya dan cara institusi-institusi dalam suatu budaya beradaptasi atau saling menyesuaikan diri. Proses-proses adaptasi menjadi penting guna melihat cara kemunculan, pemeliharaan dan transformasi berbagai konfigurasi budaya (h. 102).
Dalam rangka menjelaskan bentuk institusi pada berbagai latar masyarakat dan cara institusi itu saling berhubungan, menurut Kaplan dan Manners, antropolog perlu membuat abstraksi yang lebih tinggi tarafnya daripada konsep status, peran dan fungsi. Pada taraf abstraksi ini institusi diletakkan dalam konsteks analisis tertentu yang disebut subsistem, yakni seperangkat variabel atau aspek perilaku yang terlembagakan dan secara analitis dapat kita sendirikan, guna memberikan penjelasan - minimal penjelasan parsial – mengenai cara masyarakat memelihara dirinya sendiri dan juga melaksanakan perubahan. Pada umumnya subsistem yang diakui para antropolog ialah ideologi, struktur sosial, teknoekonomi dan kepribadian dalam matra sosial maupun psikobiologisnya. Ideologi suatu masyarakat mencakup semua kepercayaan, falsafah, nilai dan pengetahuan ilmiahnya (h. 124 dan 154). Pemakaian istilah teknoekonomi karena biasanya teknologi hanya mengacu pada mesin, alat-alat dan senjata-senjata suatu budaya. Padahal antropolog – khususnya ketika sedang merumuskan teori – hampir selalu menggunakan istilah teknologi yang cakupannya lebih luas daripada benda-bendanya itu sendiri. Jika dibongkar lebih dalam lagi, tampak bahwa yang dikandungnya bukan hanya mesin dan alat yang digunakan budaya tertentu, melainkan juga cara benda-benda itu diorganisasikan dalam penggunaannya (h. 127). Definisi struktur sosial bermacam-macam. Misalnya, ia adalah konfigurasi kelompok-kelompok yang mantap (Evans-Pritchard); suatu sistem harapan / ekspektasi normatif (Talcott Parsons); seperangkat norma atau aturan ideal (Leach) atau suatu model (Levi-Strauss). Betapapun beragamnya pendapat, banyak di antara yang disebut sebagai struktur sosial dalam kenyataannya mempermasalahkan cara yang bermanfaat dalam membedakan serta mengkonseptualisasikan berbagai bagian dari suatu sistem sosial dan hubungan antara bagian-bagian itu (h. 139). Subsistem kepribadian (kadang disebut budaya dan kepribadian, kepribadian dalam budaya atau antropologi psikologis) merupakan upaya untuk memanfaatkan variabel-variabel kepribadian guna menjelaskan fenomen kultural (h. 172-173). Karena pengaruh psikologi Freud begitu kuat, maka banyak antropolog mulai memusatkan perhatian pada praktik pengasuhan anak dalam pelbagai budaya. Mereka mencari akibat dari praktik itu terhadap kemunculan berbagai konfigurasi kepribadian, dan akhirnya mencari hubungan antara kepribadian kelompok dengan institusi sosiokultural (h. 182). Dalam perkembangannya, langkah tersebut menumbuhkan antropologi kognitif yang dirangsang oleh linguistik dan bertujuan untuk mengetahui alat konsepual yang digunakan suatu bangsa dalam mengklasifikasikan, menata dan menafsir semesta sosial dan alaminya. Antropolog kognisi bertolak pada asumsi bahwa setiap masyarakat memiliki suatu kode kognitif atau seperangkat kode / kaidah kognitif yang meliputi semua ranah / domainbudaya dan menandai masyarakat itu. Keadaan, sifat maupun hakikat kode kognitif inilah yang kemudian ditelaah (h. 194-195).
Pada bab IV pembahasan Kaplan dan Manners lebih banyak pada strukturalisme, terutama pemikiran Levi-Strauss, dan etnografi baru yang mencakup etnosemantis, etnosains dan analisis komponen. Dalam strukturalisme Levi-Strauss, yang dijadikan fokus telaah dan sumber penjelasan adalah sifat logis pikiran itu sendiri. Sedangkan dalam etnografi baru, kaidah konseptual, aturan kognitif dan kategori yang digunakan orang dalam berbagai masyarakat untuk menata pengalamannya dianggap menjelaskan perilaku serta pengaturan sosial budayanya. Pada hakikatnya, Levi-Strauss maupun para etnograf baru memandang budaya sebagai bahasa dalam arti seluas-luasnya, serta menyatakan bahwa fenomen kultural larut dalam kode formal, hubungan logis, pasangan berlawanan / binary opposition, perangkat kontrastif / contrastive set dan kaidah penyenjang skewing rules.Dalam karya para strukturalis dan penganut etnografi baru, istilah model (yang dipahami sebagai analogi atau metafora) demikian menonjol. Walaupun ada banyak jenis model, model formal tampaknya yang paling banyak digunakan. Sederhananya, model formal adalah seperangkat unsur yang didefinisikan dengan cermat dan tepat, ditambah aturan logis untuk menggabung-gabungkannya secara terampil. Karena yang kita perhatikan hanyalah model formal yang unsur-unsurnya berhubungan logis, maka keseluruhan sistem itu dapat kita pandang sebagai suatu bentuk simbolik (h. 227-231).
Dalam epilog, Kaplan dan Manners mengatakan bahwa saat ini (ketika bukunya ditulis) antropologi kelihatannya sedang mengalami krisis terutama disebabkan lenyapnya dunia primitif yang dulu merupakan satu-satunya laboratorium alam bagi antropolog. Kini makin banyak desakan (dari dalam maupun luar kalangan profesi antropolog) agar antropologi menjadi lebih “relevan” dan lebih akktif dalam memainkan peran penting untuk menggalakkan perubahan sosial (h.265-266). Transformasi dunia primitif menjadi dunia sedang berkembang telah menyajikan suatu kancah penelitian bersama bagi sejumlah ilmuwan sosial. Masalah development dan underdevelopment telah menjadi perhatian semua ilmu sosial. Akibat perubahan ini, semua ilmu sosial menipiskan ciri khas dan spesialisasi metodologi masing-masing (h. 281).
Berdasarkan pembacaan terhadap buku ini, dapat dikemukakan bahwa Kaplan dan Manners menyusun karya mereka secara kritis, dibarengi dengan deskripsi, analisa komparatif dan contoh konkret. Selain pernyataan sikap terhadap suatu masalah, mereka juga berani menyatakan gagasan-gagasannya secara tegas. Dalam pendahuluannya, mereka mengatakan bahwa sepanjang penulisan karyanya mereka berusaha menempuh jalan tengah. Di samping mengkaji ihwal-ihwal konseptual, mereka juga memberikan contoh konkret cukup banyak agar muatan bukunya tidak hanya abstraksi dan konsep tanpa pewadakan. Pendeknya mereka telah mengupayakan survei kritis tentang apa yang dilihatnya sebagai cakupan minat teoritis di bidang antropologi saat ini (ketika buku ditulis). Mereka tidak mencoba menyusun atau mengajukan teori baru berdasarkan rumusan mereka sendiri. Tapi ini tidak berarti mereka segan dalam menancapkan sikap tentang pokok soal tertentu manakala dipandang bahwa pernyataan sikap itu dibutuhkan (h. xvi).
Di antara analisa kritis mereka adalah mengenai kaitan antara praktik pengasuhan anak dengan pola kepribadian orang dewasa. Mereka mengatakan, “Jika kita menerima adanya kaitan antara praktik pengasuhan anak dengan pola kepribadian orang dewasa, dan lebih lanjut, jika kita percaya bahwa institusi suatu masyarakat harus berakomodasi terhadap struktur kepribadian orang dewasa, maka teori yang menggunakan sosialisasi sebagai variabel bebas tampaknya merupakan satu kemungkinan yang terbuka lebar. Sebabnya, menurut pandangan ini, bila pola sosialisasinya relatif mantap, maka nilai, kepercayaan, serta sikap dominan suatu masyarakat akan diinternalisasikan oleh para warga masyarakat itu. Selain itu, para warga umumnya akan terdorong memelihara dan melanggengkan sistem yang bersangkutan. Apabila sosialisasi mengalami diferensiasi atau perubahan, maka akan muncul penyimpangan atau bahkan suatu tipe kepribadian baru yang kemudian menimbulkan tekanan ke arah perubahan institusional dalam masyarakat. Sungguhpun bagan pemikiran itu sepintas tampak masuk akal, namun ada keberatan yang bisa dikemukakan terhadapnya. Jika sosialisasi kita perlakukan sebagai variabel bebas, kita kehilangan jalan untuk menjelaskan mengapa berbagai budaya harus menunjukkan pola pengasuhan anak yang berbeda-beda. Lagi pula, tampaknya mustahil ditemukan sebuah contoh empirik yang tegas dan tak mendua untuk suatu masyarakat yang mengalami perubahan institusional besar-besaran sebagai kelanjutan dari perubahan pola sosialisasinya. Bukti dan petunjuk empirik malahan menyarankan kebalikannya. Perubahan dalam sosialisasi - jika memang telah terjadi - umumnya mengikuti perubahan pokok dalam struktur institusional suatu masyarakat” (h. 185-186). Mereka juga mengomentari teori revitalisasi Wallace dengan mengatakan, “Dalam mempertimbangkan teori revitalisasi Wallace ini, kita perlu menjaga agar tetap dibedakan benar antara jenis informasi yang mampu disampaikan oleh bagian teori itu dengan jenis informasi yang tidak mampu diberikannya… Teori Wallace itu juga tidak dapat memberitahukan apakah gerakan sungguh-sungguh menghasilkan budaya yang lebih memuaskan atau malahan kurang memuaskan daripada yang ada sebelum terlaksananya gerakan tersebut. Menurut kami, yang lebih sanggup menyajikan informasi itu ialah penjelasan yang bertumpu pada kerangka pemikiran sosiokultural atau yang diderivasikan dari sana” (h. 192).[1]
Berikut ini adalah analisa komparatif Kaplan dan Manners. Mereka mengatakan, “Secara umum Julian Steward tidak membantah bagan evolusi White. Senada dengan White, Steward pun bersikap kritis terhadap pada relativis yang menekankan keberbedaan setiap budaya, dan praktis mengabaikan kemiripan lintas-budaya yang mengesankan sebagai yang terungkap dalam proses-proses kultural. Seperti White, dia merasa bahwa gelombang anti paham evolusi yang mendominasi disiplin ini dalam masa yang demikian panjang telah merugikan prosuktivitas suatu ilmu yang sahih tentang fenomen sosial-budaya. Sebabnya, juga sama dengan White, Steward berpandangan bahwa tujuan utama antropologi haruslah pengungkapan regularitas kultural sepanjang perjalanan waktu disertai penjelasannya dalam rumusan hubungan sebab akibat. Letak perbedaan antara Steward dan White, dan dengan demikian antara Steward dengan evolusionis abad XIX pula, ialah pada taraf generalitas yang menjadi pijakan dalam konseptualisasi evolusi budaya. Kritik utama Steward terhadap White bukanlah bahwa rumusan-rumusan itu demikian luas dan umum sehingga tidak banyak membantu kita menangkap runtutan perkembangan secara jelas dan cukup rinci (h. 62-63).[2]
Adapun gagasan Kaplan dan Manners, di antaranya mengenai kecenderungan arah perjalanan antropologi ke depan yang menuju pada titik temu dengan ilmu-ilmu sosial lain (h. 278), kemudian penggunaan istilah orientasi teoritik (h. 45-46), serta pembedaan istilah teknoekonomi dengan teknologi (h. 126-127) sebagaimana disinggung telah di atas. Selain kritis dalam mengajukan gagasannya, tenyata mereka termasuk penulis yang low profile yang tidak sungkan-sungkan mengakui kekurangannnya. Misalnya ketika mengatakan, “Sayang, kami tidak mampu menyajikan rumusan lebih umum yang berlaku di segala waktu dan tempat, untuk menetapkan kapan suatu subsistem memiliki dampak kausal menentukan yang terbesar. Pengakuan kami ini mungkin mengecewakan orang yang mencari satu teori universal tentang budaya (h. 217).
Buku Teori Budaya yang telah mengalami cetak sebanyak tiga kali (1999, 2000, 2002) oleh penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, ini tidak diragukan lagi urgensi dan manfaatnya. Apalagi penerjemahannya sendiri berdasarkan prakarsa akademik dari Prof. Dr. Masri Singarimbun yang menilai buku ini mampu menyediakan akses leluasa dan mendasar bagi mahasiswa untuk masuk dalam wacana antropologi (h. vii). Namun sayang sekali dalam penerbitannya tidak disebutkan nama kota, penerbit aslinya maupun tahun penerbitannya. Kita hanya mampu memperkirakan tahun penerbitannya dari sebagian referensi di muka (h. xi-xii) yang tahun penerbitannya berkisar antara tahun 1957-1969, meskipun ada juga yang bertahun 1971 (h. 220). Berkaitan dengan referensi pula, mungkin akan lebih baik jika catatan kaki diletakkan langsung di bagian bawah (bukan endnote yang di akhir bab), sehingga lebih praktis dan tidak membolak-balik halaman terus menerus dari depan ke belakang atau sebaliknya. Bahkan lebih berguna lagi apabila semua bibliografinya dirangkum di bagian belakang buku, sebelum indeksnya, serta biografi singkat kedua penulisnya juga ditampilkan. Karena ditulis pada tahun 1970-an (menurut dugaan saya setelah tidak menemukan edisi aslinya yang berbahasa Inggris), mungkin buku yang penuh analisa kritis ini lebih sempurna kalau dilengkapi dengan teori-teori lain, misalnya pasca strukturalisme yang sebenarnya telah dominan pada tahun 1970-an dan 1980-an.[3] Juga lebih bagus lagi, seandainya sistematika diruntutkan. Misalnya, di halaman 124 disebutkan subsistem-subsistem yang diakui adalah ideologi, struktur sosial, teknoekonomi dan kepribadian dalam matra sosial maupun psikobiologisnya, namun ternyata dalam penjelasannya di halaman 154 subsistem ideologi tidak didahulukan. Di samping itu, alangkah lebih baik dan membantu pembaca jika rujukan halaman yang disebutkan P.M. Laksono di dalam pengantarnya diteliti lagi karena setelah dicek ternyata halaman-halaman yang disebutkannya berbeda semua dengan yang sebenarnya. Misalnya, halaman 43 (41), 32 (31), 257 (248-249), 33-34 (32), 37 (35-36), 235 (250-251) dan 203 (195). Memang pengantar tersebut sangat bagus karena selain mampu menunjukkan kelebihan juga dapat menunjukkan kekurangan buku tersebut, tetapi ada pernyataan yang perlu diteliti lagi yang mengatakan bahwa Kaplan dan Manners termasuk berpandangan positivistik karena menuntut adanya universum dalam suatu budaya.
Mengenai kualitas terjemahan, menurut saya penerjemah kurang konsisten dalam pemakaian istilah fenomen dan fenomena tanpa penjelasan apapun. Tampaknya ia lebih banyak menggunakan istilah fenomen daripada fenomena. Kadang ia juga memakai kedua-duanya dalam satu halaman terjemahan, misalnya pada halaman xvii, 4 dan 177. Dalam suatu tulisan, konsistensi penulisan itu tidak dapat dianggap sepele. Bahkan dikhawatirkan beda tulisan mempunyai beda arti. Misalnya, perbedaan antara istilah komunitas dan komuniti dalam pandangan Koentjaraningrat untuk menerjemahkan community.[4] Termasuk juga penggunaan kata “mengungkung” (di halaman 32) yang berbeda dengan tulisan P.M. Laksono, yakni kata “mendukung” (di halaman viii) yang menyebutkan, “… warga pribumi secerdas apapun tidak akan menyadari sepenuhnya bagaimana sistem dan struktur mempengaruhi dan mendukung perilakunya sehari-hari”. Selain itu, terjemahan modal personality structure dengan “ struktur kepribadian modal” (h. 182-183) mungkin kurang tepat karena kata “modal” sangat identik dengan kepemilikan sesuatu. Apalagi dalam antropologi modal personality structure disamakan dengan basic personality structure untuk menyebut “struktur kepribadian umum”.[5] Terakhir, karena uraian Kaplan dan Manners ini kelihatannya lebih mudah dicerna bagi pembaca yang sudah mempunyai pengetahuan dasar tentang teori antropologi, maka alangkah bermanfaatnya jika dalam edisi terjemahan juga dilengkapi catatan atau keterangan tambahan yang membantu penjelasan kepada setiap pembaca pemula yang tentunya merasa kesulitan memahami pemaparan kedua penulis tersebut.
[1] Contoh analisa kritis lainnya di antaranya mengenai asumsi antropolog kognitif bahwa semua anggota suatu masyarakat dapat dicirikan sebagai penyangga suatu kode kognitif yang seragam dan tersendiri (h. 195), mengenai penjelasan monokausal dan multikausal (h. 215-216), juga mengenai gagasan Levi Strauss yang sering sangat abstrak dan elusif serta gaya penyejiannya sendiri yang acapkali menyulistkan (h. 247).
[2] Komparasi lainnya antara lain tentang kemiripan bentuk antara teori Wallace dengan penjelasan ideologis-psikologis tentang kepercayaan religius yang diajukan Spiro (h. 192), juga antara proses tesis-antitesis-sintesis dalam pemikiran Hegel dengan pendapat Levi-Strauss yang menyatakan bahwa struktur mite bersifat dialektis (h. 240)
[3] Lihat Alexander Aur “Pascastrukturalisme Michel Foucault dan gerbang menuju dialog antar peradaban” dalam Teori-Teori Kebudayaan (ed.) Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 145-150.
[4] Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jilid II (Jakarta: UI-Press, 2007), 135.
[5] Menurut Koentjaraningrat, kepribadian umum yang tampak sesudah struktur kepribadian individu dalam sampel dari warga masyarakat sebenarnya adalah suatu deskripsi mengenai ciri-ciri kepribadian yang rata-rata terdapat pada sebagian besar sampel itu. Dengan demikian, istilah modal sebenarnya adalah modus, yaitu salah satu jenis dari nilai tengah dalam ilmu statsitik. Lihat Ibid., 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar